Monday, March 14, 2011

PENGUASA , PENGUSAHA , PEGUASAHA.

“ Le,yen kowe kepingin kajen,kepingin kondang,dadio prejurit,dadio perwiro,dadio piyayi ! Nanging yen kowe kepingin sugih,dadio sudagar ! Rong prekara sing ojo nganti dicampur,merga yen dicampur bisa ndadekake rusaking projo “

Demikianlah kira2 yang saya – sewaktu saya masih kecil – pernah dengar orang2 tua berkata. Saya katakan “kira2 “ , karena tidak ada catatan atau apapun yang dapat dijadikan referensi dan hanya berdasarkan ingatan semata.. Pembaca yang kebetulan pernah mendengar tentang kalimat2 tersebut diatas mungkin dapat membuat koreksi.

Ucapan kuno dan sederhana dalam bahasa Jawa tersebut diatas menurut ceritanya dimaksudkan sebagai nasehat (pepiling),yang diberikan oleh seorang ayah kepada anak laki2nya yang mulai menginjak usia dewasa. Dalam bahasa Indonesia kira2 akan berbunyi sebagai berikut : “ Le (sebutan untuk anak laki2) ,jika kau bercita-cita untuk menjadi terkenal,dihormati dan dikagumi orang,jadilah seorang prajurit,jadilah perwira,jadilah pejabat pemerintah .Tetapi kalau kau ingin menjadi kaya.jadilah seorang saudagar / pengusaha.Dua hal ( pilihan ) itu jangan sampai dicampur,sebab kalau dicampur,dapat menjadikan negara rusak”

Diterjemahkan kedalam keadaan sekarang ,gambaran sederhananya kurang lebih akan menjadi sebagai berikut.Sebutan prejurit,perwira,piyayi masing2 mungkin dapat disamakan dengan ,pegawai negeri militer dan pegawai negeri sipil atau dengan istilah lain : “ penguasa “,yang untuk pelaksanaan tugasnya menyelenggarakan negara dibekali dengan beberapa sarana berupa kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur dan mengambil keputusan dan mengatur perizinan.Sementara sudagar sama dengan yang sekarang kita sebut “pengusaha”,yang untuk usahanya bermodalkan uang,dan ada komoditi yang diperdagangkan, yang dapat berupa materi atapun yang berupa jasa.Pengusaha menjalankan usahanya sesuai dengan aturan main,undang2 ,peraturan,yang ditentukan oleh Penguasa.

Nampaknya, fenomena yang sekarang disebut korupsi itu, dizaman dulu kalapun sudah ada,dan nasehat tersebut agaknya dimaksud agar para calon pelaku sejarah waspada akan bahaya dan godaan yang dianggap akan menghadang mereka,Secara tidak langsung disebutkan pula,bahwa menjadi piyayi / penguasa bukannya jalan untuk menjadi kaya ( yang tentunya tidak berarti harus miskin/melarat /sengsara ).Bahaya yang dapat menghadang “penguasa” dalam pelaksanaan tugasnya adalah apabila wewenang2 yang dipegangnya mulai ia perlakukan sebagai komoditi komersial yang ternyata dapat mendatangkan rezeki .Pada saat itulah penguasa sekaligus berlaku sebagai pengusaha Dengan demikian “penguasa” merangkap menjadi “pengusaha”. Peran ganda ini untuk mudahnya kita beri saja nama “penguasaha”.yang dalam kehidupan nyata di Indonesia mudah2an tidak ada. Peran ganda “penguasaha” inilah yang nampaknya dalam nasehat kuno itu disebut-sebut sebagai bahaya potensial,yang dapat menghancurkan Negara.

Apakah falsafah,yang terkandung dalam nasehat kuno tersebut masih relevan untuk keadaan zaman sekarang ,ataukah dianggap sudah usang dan ketinggalan zaman ? Para cerdik pandailah ,--yang Indonesia memiliki dalam jumlah yang cukup besar--,yang diharapkan dapat memberikan penilaian dan jawaban.

Dalam sejarah Indonesia pernah ada perusahaan dagang Belanda,yang untuk zamannya berukuran sangat besar dan berkuasa,dan memonopoli perdagangan rempah2.Perusahaan tersebut jatuh bangkrut,dikarenakan korupsi yang dilakukan oleh pembesar2nya sendiri,sehingga pemerintah Belanda harus mengambil alihnya.Perusahaan tersebut bernama “V.O.C.” (Vereenigde Oost Indische Compagnie yang berarti Perusahaan Hindia Timur Bersatu ),singkatan mana kemudian berobah artinya menjadi ejekan “Vergaan Onder Corruptie” (Hancur disebabkan korupsi)

SEMOGA INDONESIA MAMPU MENJAGA DIRI SUPAYA TIDAK TERSERET DAN TERPEROSOK KEDALAM JALUR,YANG DULU PERNAH DITEMPUH OLEH VOC .

Sunday, January 28, 2007

OBENG “MADE IN INDONESIA.”

Pada suatu hari saya pergi ke toko material di Blok A, Jakarta Selatan untuk membeli sebuah obeng.Anda tahu kan ,apa itu obeng?Alat yang sangat sederhana untuk memutar sekrup ,orang Inggris menyebutnya itu screwdriver.

Saya masuk kedalam salah satu dari sekian banyak toko material dan dibawa ketempat,dimana tergelar berbagai macam obeng dalam berbegai ukuran dan model.

Saya ambil sebuah yang saya rasa paling cocok dengan keperluan saya.Obengnya cukup bagus.Disatu bagiannya tertulis : “Made in Cina”.Saya tidak tahu apakah yang dimaksud dengan kata China itu Republik Rakyat Cina (RRC) atau Taiwan.Tetapi yang jelas ialah obeng itu bukan buatan Indonesia,Secara iseng saya tanyakan, apakah tidak ada yang buatan lokal,yang mungkin lebih murah.Ternyata mereka tidak pernah menjualnya. Saya coba dibeberapa toko yang lain disekitar tempat itu.

Jawabannya sama dengan apa yang saya dapat ditoko yang pertama.

Akhirnya saya beli juga obeng itu,yang “Made in China

Dirumah,duduk didepan komputer,perhatian saya tertarik pada bak plastik kecil berisi pensil, pensil isi (vulpotlood), ballpoint, stapler, pervorator, lem, paperclips, stabillo boss dll., yang kemudian saya kaitkan dengan pengalaman saya sewaktu membeli obeng.Saya menjadi penasaran.kepingin tahu,barang2 itu buatan mana.

Saya ambil stapler,saya putar2nya dengan jari2 saya dan saya temukan tulisan “Made in Japan.”Demikian juga halnya dengan perforator.Lem bermerk GLU fix ternyata buatan Gunung Putri,Bogor .Eraser (penghapus tulisan dengan pensil) adalah buatan Malaysia..Isian (refill) untuk pensil isian ternyata buatan Jepang.

Dari item2 yang lain seperti paperclip,ballpoint,pensil saya tidak dapat menyimpulkan buatan mana item2 itu.Timbul pertanyaan pada diri saya,apakah barang yang “sepele” itu memang semuanya di-impor.

Saya memang belum pernah melihat pabrik yang membuat barang2 tersebut diatas.Belum pernah pula membaca berita dimedia tentang adanya pembukaan pabrik obeng,atau pabrik sekrup atau pabrik paperclips.pabrik stapler.pabrik pensil.

Mungkin juga sebenarnya ada tetapi memang tidak diberitakan karena barang2 tersebut diatas terlalu sederhana sifatnya,tidak “hi-tech”.Akan beda ceritanya,kalau menyangkut pembuatan pesawat terbang misalnya,atau pembangunan kilang minyak,jalan tol dan sebagainya,.yang pasti akan dapat menjadi berita besar.

Saya tidak tahu,apakah gambar yang saya dapat tersebut diatas,merupakan contoh yang terpencil,ataukah representatip buat Jakarta ataupun malah untuk seluruh Indonesia,Kalau gambar tersebut berlaku untuk seluruh Indonesia,alangkah menyedihkan kenyatan itu.

Kalau kita melihat pasar barang kebutuhan sehari-hari hasil buatan pabrik,maka seakan-akan tidak ada barang yang tidak dibuat oleh RRC dan diekspor keluar negeri,antara lain ke Indonesia.Dari obeng,kunci pas,kunci Inggris,dongkrak,alat2 pertukangan,tekstil, sampai ke termometer untuk mengukur panas badan dan akhir2 ini juga sepeda motor.

Tetapi buat apa sih saya ini susah2 memikirkan ketiadaan obeng “Made in Indonesia”?Itu kan hanya barang sepele,”low tech” sifatnya dan barang yang murah harganya? Dan apa sih yang dapat saya perbuat ?

Soalnya saya penasaran dan tidak dapat melepaskan diri dari dorongan untuk membuat perbandingan dengan negara lain.Kita ambil Jepang misalnya.Tidak ada barang hasil industri yang Jepang tidak dapat membuat sendiri.Dari peralatan kantor yang sederhana sampai barang berteknologi tinggi seperti satelit,peralatan komunikasi dan seterusnya.Tidak ada barang yang – betapa pun sepelenya –yang tidak diproduksi oleh Jepang.

Impor oleh Jepang sebagian terbesar adalah bahan .baku yang masih mentah sementah-mentahnya.Dan barang yang di-ekspornya adalah barang jadi yang completely finished.
Bayangkan jumlah tenaga kerja yang diserap dalam proses itu serta nilai tambah yang didapat dari pengolahan bahan baku kasar sampai “finished products”. Mau tidak mau pikiran saya melayang ke persoalan jutaan tenaga kerja kasar Indonesia yang harus mengadu nasib dinegeri orang dengan segala dukanya,karena Indonesia sendiri tidak mampu menyediakan lapangan kerja untuk mereka.

Nampaknya kebijaksanaan Jepang tersebut diatas sekarang ditempuh juga oleh RRC.

Dan bagaimana dengan Indonesia ?Apakah kita akan terus menjadi pasar belaka sepanjang masa untuk barang2 tersebut diatas ?

Saya teringat waktu saya masih duduk di Sekolah Dasar antara tahun 1934 dan 1940.Bersebelahan dengan kampung tempat saya tinggal,adalah Kampung Pandean.Disebut kampung Pandean,karena disitu terdapat sejumlah pande besi,yang membuat antara lain berbagai alat2 keperluan pertanian seperti cangkol,garpu,arit,dan lain2 sebagainya.Setiap hari industri rumahan para pande besi meramaikan suasana kampung dengan suara dentingan besi,yang sekaligus menunjukkan adanya kegiatan ekonomi,sebagaimanapun kecilnya,yang memberikan lapangan kerja dan penghidupan kepada sebagian rakyat kampung Pandean.

Sampai sekarang kampung itu masih bernama Pandean.Tetapi suasana sudah berbeda ..Ramainya dentingan besi tiada lagi terdengar.Industri rumahan pande besi sudah mati total.Kemana para pekerjanya pergi untuk mencari makan?Siapa yang perdulikan?

Dalam sejarah Indonesia – yang sudah merdeka -,pernah ada kurun waktu dimana oleh pemerintah didengungkan slogan “BERDIKARI”,kependekan dari “Berdiri diatas kaki sendiri“. Pada waktu itu menggunakan produk hasil dalam negeri adalah tindakan yang terpuji,karena meningkatkan kegiatan ekonomi dalam negeri.

Pakailah hasil industri dalam negeri,sekalipun adakalanya mutunya belum sempurna!!!..Dalam berjalannya waktu,itu dapat diperbaiki dan disempurnakan.

Tetapi itu adalah kebijaksanaan resim Orde Lama.Resim Orde Baru yang menggantikannya dan “banting stir”, dan menganut kebijaksanaan yang bertolak belakang.Indonesia dibanjiri barang impor dan anggapan umum pun berobah; adalah lebih “keren”kalau dapat memakai barang impor.

Dapatkah kiranya peran RRC,yaitu mengisi pasar barang2 seperti tersebut diatas diambil alih oleh Indonesia ?Pasarnya cukup besar,tenaga kerja Indonesia dikatakan paling rendah upahnya,pekerjaannya tidak memerlukan teknologi yang terlalu canggih.

Semuanya itu faktor2 yang menunjang daya saing Indonesia.Tetapi bagaimana dengan produktivitas pekerja Indonesia yang dianggap relatip rendah dibanding dengan tenaga kerja RRC? Dan bagaimana dengan faktor2 lain,yang menyumbang kepada proses terjadinya “ high cost economy“ Indonesia ,yang sudah berjalan bertahun-tahun,tanpa pemerintah dapat mengatasinya dengan tuntas.

Tidakkah Indonesia memiliki cukup banyak ahli2 disegala bidang dan anggauta terhormat DPR sudah berkali-kali secara ramai2 membuat studi banding keluar negeri,untuk dapat menentukan dan menerapkan kebijaksanaan yang cocok dan menguntungkan bagi Indonesia dan mengatasi masalah “hing cost economy “ ?

Adakah kemungkinan-mudah2an tidak ada – bahwa pembuatan obeng dan alat pertukangan yang lain dalam anggapan para pemimpin kita hanya soal remeh dan tidak terlalu penting dan oleh karenanya tidak mendapatkan perhatian yang memadai ?

Saturday, January 27, 2007